Pada 2025, Pemerintah Indonesia menempatkan spektrum 2,6 GHz sebagai kunci percepatan implementasi 5G nasional. Band ini hadir sebagai jembatan antara jangkauan luas dan kapasitas tinggi—mampu menembus area perkotaan dan suburban secara optimal, sekaligus mendukung throughput gigabit. Melalui lelang spektrum yang dijadwalkan pada kuartal kedua tahun ini, regulator bertujuan memenuhi lonjakan permintaan data, membangun fondasi untuk aplikasi industri 4.0, smart city, dan konektivitas merata hingga pelosok. Peta jalan 5G yang terstruktur mencakup tahapan konsultasi publik, refarming spektrum 4G, pengujian teknis, hingga penetapan hak penggunaan dengan durasi inkubasi strategis. Dengan langkah ini, Indonesia berharap bisa mewujudkan cakupan 5G mencapai 80 % populasi pada akhir 2025, mendekati sasaran 95 % di 2026. Artikel ini menguraikan latar belakang, mekanisme lelang, kesiapan operator, dampak terhadap ekosistem digital, tantangan teknis dan regulasi, serta rekomendasi langkah berikutnya untuk memastikan percepatan 5G yang inklusif dan berkelanjutan.
Latar Belakang Perkembangan Jaringan 5G di Indonesia

Sejak peluncuran komersial pertama pada 2021, 5G di Indonesia tumbuh pesat di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Operator memanfaatkan spektrum 3,5 GHz dan 28 GHz untuk menguji coba layanan enhanced Mobile Broadband (eMBB) dengan kecepatan puncak hingga beberapa gigabit per detik. Pilot private network 5G juga digelar di kawasan industri, mendemonstrasikan latensi rendah untuk otomasi robotik dan AR/VR manufaktur. Namun, kendala ketersediaan spektrum membuat cakupan masih terbatas, sementara kebutuhan data konsumen dan enterprise meningkat eksponensial. Menyadari potensi 5G sebagai tulang punggung ekonomi digital, pemerintah mencanangkan peta jalan nasional yang memprioritaskan alokasi frekuensi strategis—termasuk refarming band 2,6 GHz yang selama ini dominan untuk 4G LTE. Langkah ini didasari pada kepadatan pengguna yang tinggi, kompatibilitas perangkat, serta pengalaman belajar dari negara lain yang berhasil meningkatkan jangkauan 5G dengan memanfaatkan spektrum mid-band. Dalam konteks Indonesia yang geografisnya luas dan beragam, mengoptimalkan 2,6 GHz menjadi syarat mutlak untuk menjembatani kesenjangan digital antara perkotaan dan daerah terpencil.
Urgensi Spektrum 2,6 GHz untuk Perluasan 5G
Band 2,6 GHz menawarkan kompromi terbaik antara propagasi sinyal dan kapasitas. Frekuensi ini mampu menembus gedung dan rintangan urban lebih baik dibandingkan gelombang millimeter, serta menjangkau area pinggiran dengan jangkauan yang lebih luas daripada 3,5 GHz. Ketersediaan perangkat 5G dual-mode yang sudah mendukung 2,6 GHz juga menekan biaya transisi bagi konsumen dan industri. Dengan mengalokasikan blok frekuensi ini untuk layanan 5G, operator dapat meningkatkan kecepatan rata-rata hingga beberapa ratus megabit per detik, menurunkan latensi di bawah 10 ms, dan menghadirkan pengalaman konektivitas seamless untuk mobile broadband, IoT skala besar, serta aplikasi misi kritis. Urgensi lelang spektrum 2,6 GHz juga muncul karena prediksi lonjakan trafik data tahunan yang mencapai lima kali lipat dalam lima tahun ke depan. Tanpa tambahan frekuensi mid-band, jaringan 5G akan kesulitan menampung beban puncak, memicu penurunan kualitas layanan. Oleh karena itu, prioritas alokasi 2,6 GHz menjadi strategi efektif untuk mencapai target cakupan 5G nasional dengan biaya dan waktu implementasi yang paling efisien.
Mekanisme Lelang Spektrum 2025
Proses lelang spektrum 2,6 GHz dimulai dengan konsultasi publik oleh Kementerian Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, menetapkan jumlah blok frekuensi, ketentuan teknis, serta komitmen investasi minimum. Lelang dilakukan dalam format ascending clock auction, di mana operator mengajukan tawaran secara berputar hingga tercapai harga ekuilibrium. Harga dasar ditetapkan berdasarkan nilai ekonomi spektrum dan benchmark internasional. Pemenang lelang berhak menggunakan frekuensi selama 15 tahun, dengan opsi perpanjangan bergantung pada capaian target cakupan dan kualitas layanan. Selain pembayaran lisensi, operator harus memenuhi kewajiban memperluas jangkauan minimal 70 % kabupaten hingga lima tahun pertama—termasuk area 3T (terdepan, terluar, tertinggal). Pengawasan tanggung jawab investasi dilakukan melalui laporan semesteran yang mencakup jumlah BTS 5G, integrasi core network, dan perkembangan drive test. Mekanisme ini dirancang untuk memastikan spektrum tidak hanya dilepas, tetapi juga dioperasikan secara optimal demi percepatan adopsi 5G di seluruh wilayah.
Persiapan Infrastruktur dan Kesiapan Operator
Refarming spektrum 2,6 GHz mengharuskan operator melakukan re-planning Radio Access Network (RAN) untuk memindahkan trafik 4G ke band lain, sehingga kanal 2,6 GHz dapat dipakai 5G. Vendor jaringan seperti Ericsson, Huawei, dan Nokia telah menyiapkan software upgrade pada BTS existing, serta menyediakan Massive MIMO dan teknologi beamforming untuk meningkatkan kapasitas. Di sisi perangkat, OEM handset dan CPE (Customer Premises Equipment) 5G dual-mode perlu mendiversifikasi portofolio produk, mulai dari smartphone entry-level hingga router indoor/outdoor, agar penetrasi pasar berjalan lancar. Operator juga memperkuat backhaul fiber optic dan transport microwave untuk mendukung throughput tinggi, serta memperluas pasokan listrik reliabel di daerah terpencil. Pelatihan tim teknis dan mitra instalasi menjadi prioritas: program sertifikasi jaringan 5G dan manajemen spektrum dilaksanakan bersama kampus dan lembaga pelatihan. Kolaborasi dengan pemerintah daerah untuk mempercepat perizinan tower dan site acquisition juga digencarkan, mengurangi hambatan regulasi lokal yang sering memperlambat deployment.
Dampak pada Ekosistem Digital dan Industri
Tambahan spektrum 2,6 GHz akan membuka berbagai peluang bagi sektor industri dan ekosistem digital. Di sektor manufaktur, private 5G network dengan network slicing memungkinkan otomasi robotik, predictive maintenance, dan quality control real-time. Di pertanian, sensor IoT pada frekuensi mid-band mendukung presisi irigasi, pemantauan cuaca, dan pelacakan logistik panen. Telemedicine dapat dioptimalkan untuk remote surgery, konsultasi jarak jauh, dan mobile health clinic di lokasi terpencil. Lembaga pendidikan akan memanfaatkan AR/VR untuk pembelajaran interaktif dan lab virtual. Startup digital dapat bereksperimen dengan layanan cloud gaming dan streaming ultra-HD. Dari sisi ekonomi makro, peningkatan adopsi digital diprediksi menambah kontribusi sektor telekomunikasi hingga 2 % PDB per tahun dan menciptakan puluhan ribu lapangan kerja baru di bidang teknologi, layanan, dan konten digital. Ekosistem UMKM juga terdongkrak—platform e-commerce dan fintech dapat memanfaatkan konektivitas andal untuk memperluas jangkauan pasar.
Tantangan Teknis dan Regulasi serta Mitigasi
Meskipun manfaatnya besar, implementasi 5G di 2,6 GHz menghadapi tantangan signifikan. Refarming mengharuskan koordinasi spektrum dengan operator lain untuk menghindari interferensi lintas jaringan. Ketersediaan perangkat dual-mode masih terbatas pada segmen premium, sehingga harga CPE perlu distimulasi melalui insentif fiskal—seperti pembebasan bea impor dan kompensasi pajak. Infrastruktur pendukung di area terpencil kerap terkendala pasokan listrik dan backhaul sempit; solusi off-grid power (solar, hybrid) harus diintegrasikan. Dari sisi regulasi, harmonisasi perizinan tower dan site acquisition di tingkat kabupaten/kota harus dipercepat melalui one-stop permit. Kominfo perlu memperkuat monitoring compliance melalui drive test crowdsourced dan sistem OSS/BSS real-time untuk deteksi cakupan mati. Dalam ranah keamanan siber, standar 5G harus dilengkapi dengan enkripsi end-to-end dan isolation pada network slicing untuk mencegah serangan DDoS dan penyadapan. Mitigasi lain termasuk program edukasi konsumen tentang penggunaan handset 5G yang benar, serta kolaborasi riset antara operator, vendor, dan akademisi untuk menguji interoperabilitas antar vendor.
Langkah Ke Depan dan Rekomendasi

Menatap masa depan, peta jalan 5G Indonesia harus melanjutkan lelang spektrum mid-band lain—seperti 1,8 GHz dan 700 MHz—serta mempersiapkan pilot band mmWave 26 GHz untuk hotspot ultra-kapasitas. Kominfo, operator, vendor, dan akademisi perlu merancang laboratorium pengujian open-access untuk eksperimen network slicing dan URLLC. Program pelatihan SDM 5G harus diperluas, termasuk sertifikasi cybersecurity dan manajemen spektrum. Pemerintah daerah didorong membentuk Digital Innovation Hub untuk mempercepat adopsi 5G di sektor pariwisata, kesehatan, dan pendidikan lokal. Kebijakan insentif juga dapat diarahkan pada integrasi 5G dengan green technology—misalnya smart grid dan transportasi cerdas—untuk mendukung pembangunan ekonomi rendah karbon. Selain itu, evaluasi berkala atas dampak sosial dan ekonomi 5G melalui studi longitudinal akan membantu menyempurnakan kebijakan. Dengan sinergi komprehensif, Indonesia siap menjadi salah satu negara dengan ekosistem 5G terdepan di Asia Tenggara, menjawab tantangan digital masa kini dan memimpin inovasi masa depan.

Tinggalkan Balasan